Arsip

Archive for the ‘Pengalaman’ Category

Belajar Lari (39) : Melukis Heart Rate (Garmin)

Peta yang menunjukkan perubahan Heart Rate sangat dibutuhkan oleh pelari yang sedang belajar MAF. Karena dengan peta itu, pelari yang berlari di rute tetap selama berlari, akan mengetahui di lokasi mana saja Heart Rate biasanya “bergejolak”.

Peta itu bisa juga menjadi ajang pelari yang memiliki jiwa seni, untuk mengekspresikan hasil larinya berdasarkan tinggi rendahnya Heart Rate selama berlari. Di salah satu grup Facebook, saya pernah menunjukkan salah satu pelari di IG yang “melukis” peta-nya berupa gambar binatang. Lucu dan membuat senang yang melihatnya.

Masalahnya, secara default, Garmin justru menunjukkan peta lari berdasarkan lambat atau cepatnya berlari.

Makanya, saya pernah bertanya di salah satu grup WA, bagaimana membuat peta heart rate? Namun belum ada jawaban yang tepat.

Saya telah berusaha juga untuk mencari dan menginstall aplikasi yang bisa melukis heart rate, tapi hingga kemarin selalu gagal.

Hingga akhirnya saya menyerah. Bertanya langsung ke orang yang selalu menggambar peta heart rate : Restu Didik. Saya memang begitu. Berusaha dulu sekuatnya. Mencoba terus sendiri. Kalau juga tetap gagal, baru bertanya. Ini ada baiknya : kegigihan terkadang bisa mendapatkan “sesuatu” yang melebihi perkiraan. Walaupun terkadang, ternyata caranya begitu sangat mudah! 😁

Nah, kembali ke melukis Heart Rate. Caranya ternyata memang sangat mudah.

  1. Tap aktivitas yang telah dilakukan dari tampilan Garmin.
  2. Tap gambar peta.
  3. Tap icon seperti topi di sebelah kanan atas layar HP.
  4. Untuk gambar lebih bagus, pilih “Satellite” untuk Map Type-nya.
  5. Pilih Heart Rate untuk Overlay-nya

Itu saja. Lihat gambar screenshot. Mudah kan?

Jangan tanya untuk merk lain. Saya tidak punya.

Sebelumnya : MAF Training

Home : Belajar Lari

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (38) : MAF Training

6 Desember 2020 2 komentar

Lari 10K tercepat saya terakhir adalah tanggal 15 Sep 2020. Saat itu, saya bisa berlari 10K dengan waktu tempuh 1:05:01 dan pace rata-rata 06:26 / km. Heart Rate (HR) juga masih terkendali baik, yaitu 145 BPM, dengan HR Zona 5 hanya sebesar 1.02%.

Namun, setelah itu entah mengapa, performa lari saya semakin lama semakin menurun. Saya kesulitan untuk mendapatkan ritme. Pada KM pertama saja, Heart Rate sudah bergejolak masuk zona 5.

Seperti yang pernah saya tulis, olah raga bukan untuk membahayakan jantung. Saya sangat memperhatikan zona denyut jantung (HR zone). Untuk umur saat ini (52 tahun), batas atas zona 4 denyut jantung saya adalah 151 BPM.

Kalau dipaksa, saya yakin masih mampu, bahkan bisa lebih baik dari kecepatan lari di atas, namun efeknya pasti akan melanggar zona denyut jantung. Itu berbahaya. Rentan menimbulkan cedera. Itu yang saya tidak mau.

Apakah saya ingin kembali ke performa awal? Pasti. Tapi yang lebih penting lagi, bukan di pace-nya, tetapi lebih kepada kebugaran fisik.

Seiring dan berkorelasi dengan menurunnya performa lari, kebugaran fisik yang diwakili oleh angka VO2Max juga turun.

Ketika masih bisa lari dengan pace 6:26 / km dengan HR terkendali, VO2Max saya berada di angka 46. Kata Garmin, itu excellent. Kebugaran fisik saya saat itu setara dengan anak muda usia 20 tahun. Namun saat ini, VO2Max turun drastis ke angka 43 (Good). Itu setara dengan kebugaran seorang yang berumur 33 tahun. Turun 13 tahun!

Itulah alasan utama untuk meningkatkan performa kembali.

Apakah kondisi ini yang pertama? Tidak. Setelah bulan puasa (Mei-2020), saya pernah mengalami penurunan performa. Dengan belajar menahan pace sekitar 1 bulan, sedikit demi sedikit, performa saya naik kembali dan puncaknya di 15 Sep 2020 itu.

Saat ini sudah sekitar 2 bulan, saya belajar kembali meningkatkan performa. Namun, ternyata belum bisa, bahkan ternyata sulit kembali ke performa awal.

Nah, kebetulan di grup komunitas lari, ada yang men-share video IG Melanie Putria bercerita mengenai kondisi seperti yang saya alami : sudah berupaya maksimal, namun HR selalu tinggi di awal lari. Ada solusinya : Metode MAF (Maximum Aerobic Function). Ini link videonya.

Intinya metode MAF ini adalah :

  • HR diusahakan di 180 – Umur. Boleh +/- 5. Jadi kalau saya berumur 52 tahun, maka saya harus menahan pace agar HR tidak lebih dari 128 BPM +/- 5.
  • Minimal dilakukan 5 jam per minggu. Setiap lari minimal 1 jam.
  • Minimal dilakukan selama 3 bulan atau 12 minggu.

Apakah mudah? Sulit. Butuh kesabaran tinggi untuk menahan kecepatan lari. Dulu saya terbiasa berlari dengan pace 6:32 / km. Saat ini harus mampu menahan pace menjadi sekitar 8:40 / km agar HR tetap berada di 128 BPM.

Hari ini adalah hari ke-3 saya mempraktekkan metode MAF. Apa saja yang saya rasakan perbedaan dengan lari sebelumnya ?

  1. Recovery lebih cepat

Agar bisa membedakan performa, saya upayakan agar jarak tempuh lari seperti sebelumnya : 10K. Dengan menahan pace, kalau lari sebelumnya rata-rata ditempuh selama 1 jam 7 menit. Pagi tadi, jarak itu saya tempuh selama 1 jam 26 menit.

Namun, meskipun lari lebih lama, Garmin bilang bahwa waktu recovery hanya 18 jam. Padahal kalau sebelumnya, biasanya Garmin bilang recovery time 48 jam. Artinya, dengan metode MAF ini, saya boleh lari (hampir) setiap hari.

  1. Kebugaran mulai kembali

Hari ke-2, ternyata lari saya sudah menghasilkan angka VO2Max meningkat 1 strip ke 44 (excellent) dengan training status Peaking. Padahal training status lari sebelumnya selalu mendapatkan katagori Unproductive.

  1. Bisa meng-agendakan Fat Burning.

Oh ya, berat badan saya saat ini ternyata bertambah 2 kg menjadi 64 kg. Mungkin, selama ini saya kurang bisa mengendalikan konsumsi makanan.

Memang selama ini saya tidak membatasi konsumsi makanan. Karena hanya ada 2 pilihan ketika makan : enak atau enak sekali. Apalagi kalau sudah di Jogja, segala macam camilan disediakan istri.

Nah, dengan menggunakan metode MAF ini, saya memiliki kesempatan berlari di Heart Rate Zona 2 (fat burning), meskipun porsinya masih kecil. Saya harus berlari “sangat pelan” agar bisa menjaga HR di 117 BPM. Konon, berlari di HR zona 2 paling efektif untuk membakar lemak.

+++++

Nah, meskipun baru 3 kali menjalani MAF Training, saya sudah mulai merasakan manfaatnya. Sepertinya, kebugaran saya bukan didapatkan dengan lari kencang, tetapi justru dengan belajar lari lebih lambat.

Saya akan tetap posting performa lari “lambat”. Memang tidak akan bergengsi. Biarlah gengsi itu dimiliki oleh yang memang sudah terlatih.

Saya lebih mengamini kutipan ini :

“Saya tidak harus berlari kencang, karena bukan atlet. Saya juga tidak perlu lari dengan memaksakan diri, karena tidak sedang berlomba. Saya berlari sesuai dengan kemampuan, karena hanya ingin sehat dan bugar.”

Selanjutnya, kapan Metode MAF boleh mulai berlatih Speed?

Info yang saya dapatkan, saya harus berlari dengan metode MAF minimal 3 bulan. Setelah 3 bulan, baru boleh 80% MAF dan 20% Speed.

Kalau saya berlari 4 kali per minggu, maka hitungannya adalah = 4 kali per minggu x 4 minggu per bulan x 3 bulan = 48 kali lari.

Jadi gampangnya saya akan mulai berlatih speed setelah MAF Training Day #50. Saat ini saya masih di MAF Training Day #18. Jadi, masih sangat lama berlatih MAF. Harus bersabar.

Saya akan menggunakan metode itu.


Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (37) : Keluhan Bibir Pecah-Pecah Hilang

Lupa. Ya. Sekitar setahun ini saya benar-benar telah lupa, bahwa dulu ada kondisi yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman.

Apa itu? Hampir setiap hari muncul ini : bibir pecah-pecah. Mengelupas. Bahkan sering sampai berdarah. Karena terus terang, saya merasa “risih” ketika kulit bibir terkelupas. Jadi saya pasti berusaha melepasnya. Bisa ditebak. Ketika kulit bibir di bawahnya yang belum siap menggantikan kulit yang terkelupas, akibatnya sering kali menjadi berdarah.

Kondisi ini telah berjalan selama bekerja. Lebih dari 20 tahun.

Saya ingat. Kulit bibir terkelupas itu semakin parah ketika sedang dilanda stress. Sedikit berkurang, ketika sedang cuti. Saya juga ingat, untuk sedikit menurunkan tingkat keparahan, saya meminum larutan penyegar. Tapi pengaruhnya tidak terlalu signifikan.

Namun, saat ini keluhan itu benar-benar telah hilang. Bibir saya sekarang tidak lagi terkelupas. Bahkan ini baru ingat kembali, bahwa saya dulu pernah mengalaminya.

Saya menduga kuat, itu semua karena selama setahun terakhir rutin olah raga lari. Hanya itu aktivitas yang berubah dari sebelumnya. Saya tidak pernah mengobatinya. Saya juga tidak ada makan atau minum sesuatu secara khusus.

Saya menduga bahwa dengan rutin olah raga lari, metabolisme tubuh lebih bagus. Seluruh bagian tubuh tercukupi oksigen dan asupan zat makanan. Setelah lari, saya juga mendapatkan hormon endorfin. Mungkin inilah penyebabnya. Hormon endorfin ini bisa menurunkan tingkat stress. Karena stress berkurang drastis, bibir saya tidak lagi pecah-pecah.

Artikel di alodokter.com ini mengkonfirmasi hal tersebut.

+++++

Penelitian menunjukkan, olahraga merupakan cara yang efektif untuk mengobati depresi atau stres. Baik depresi dengan tingkat ringan maupun depresi tingkat sedang. Olahraga juga bisa membantu Anda dalam mengatasi perasaan gelisah, meningkatkan kualitas tidur, dan meningkatkan kepercayaan diri.

Saat Anda melakukan olahraga, tubuh akan mengeluarkan hormon endorfin untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan energi positif.

+++++

Jadi. Keputusan saya menekuni olah raga ini terbukti semakin tepat. Saya benar-benar sudah lupa, kalau pernah lama mengalami keluhan bibir pecah-pecah.

Ajaib tapi nyata.

Home : Belajar Lari

Selanjutnya : MAF Training

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (36) : Alert Heart Rate (Garmin)

Pada artikel sebelumnya, saya telah menyampaikan beberapa hal terkait pentingnya mengetahui Zona Heart Rate (HR).

User Garmin sebenarnya bisa dengan mudah mencegah terjadinya pelampauan HR zona 5, dengan memanfaatkan Smartwatchnya. Smartwatch yang kita pakai bisa menyampaikan Alert kepada user sesuai dengan kondisi usia masing-masing user.

Namun demikian, alert dari Smartwatch sebaiknya di setting sedemikian rupa sehingga ketika muncul alert tersebut, belum “keblablasan” melampaui zona berbahaya (Heart Rate zona 5).

Cara agar tidak keblabasan ke HR zona 5 adalah dengan men-setting Smartwatch memberikan alert di zona 3. Bukan di zona 4. Mengapa?

Karena kalau di setting di batas zona 4, maka begitu muncul alert berarti sudah lewat zona 4. Sudah masuk zona 5.

Bagusnya Garmin, alert hanya muncul kalau pengguna sudah lari dengan kecepatan pada posisi “steady state” atau sering di HR tersebut.

Contoh : Ketika pengguna Garmin lari di jalan yang mendadak naik, tapi hanya sebentar dan HR melonjak di atas settingan, maka tidak otomatis muncul alert. Alert hanya akan muncul ketika secara “steady state” pelari sudah beberapa waktu (mungkin sekitar semenit) berada terus menerus di HR tersebut.

Jadi, kalau saya setting alert di zona 3 atau 134 BPM dan saya lari di 144 BPM, Smartwatch tidak akan terus menerus menyampaikan alert. Alert hanya muncul sesekali ketika “steady state” di denyut HR tertentu.

+++++

Cara Setting

Untuk diketahui bahwa tombol navigasi Smartwatch Garmin adalah sbb. :

  • Enter = Pilih = Tombol kanan atas
  • Back / home = Tombol kanan bawah.
  • Up / Setting = Tombol kiri tengah.
  • Down = Tombol kiri bawah.
  • Lampu = Tombol kiri atas.
  • Menampilkan menu / setting = Tekan lama tombol kiri tengah.

Catatan : Pastikan user sudah melakukan setting profile dengan benar (terutama tanggal lahir) di aplikasi Garmin Connect.

Untuk melakukan setting HR Zona 3 di Smartwatch Garmin adalah dengan cara sbb. :

  1. Tekan Enter, hingga muncul Icon Lari.
  2. Tekan tombol Setting (tekan lama tombol kiri tengah), hingga muncul “Run Setting”.
  3. Tekan Enter, hingga muncul “Data Screen”.
  4. Geser tampilan ke bawah, hingga muncul “Alerts” di tengah layar.
  5. Tekan Enter hingga muncul tulisan “Add New”.
  6. Geser tampilan ke bawah, hingga muncul “Heart Rate”.
  7. Tekan Enter, hingga muncul “High Alert”.
  8. Geser tampilan ke atas atau ke bawah dan pilihlah : “Aerobic (Z3)”.
  9. Tekan Enter. Maka Anda sudah memilih Zona 3 sebagai Alert.

Semoga bermanfaat.

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (35) : Cara Mendapatkan Ritme Lari

T = Tanya, J = Jawab di dalam hati.

T : “Halo bagaimana kabar lari pagi tadi?”

J : “Kalau biasanya, di awal lari langsung kencang, maka pada pagi hari tadi, saya justru berusaha menahan kecepatan. Tapi itu justru yang terberat : menahan godaan lari kencang di awal lari.”

T : “Bisakah kamu melakukannya?”

J : “Bersyukur, tadi lumayan bisa. Kalau 3 hari lalu, dengan rute yang sama, di KM pertama saya lari dengan pace 6:32 / km, hari ini hanya 6:41 / km.”

T : “Apa efeknya?”

J : “Banyak. Sepertinya, saya merasakan jadi bisa menyimpan banyak energi. Pada kilometer selanjutnya, saya justru mendapatkan ritme lari yang nyaman.”

T : “Apa lagi?”

J : “Ini yang masuk katagori istimewa, ketika di KM ke-7 (tanjakan Drono = +21 m) kalau pada lari sebelumnya saya mendapatkan pace 7:02 / km dengan HR 149 BPM, hari ini membaik menjadi 6:58 / km dengan HR 145 BPM.

T : “Terus?”

J : “Oh ya. Pada 5 Agustus dan hari ini, saya lari dengan jarak sama 10.10 km, rute mirip dan rata-rata pace sama 6:36 / km. Tetapi ada perbedaan data sbb. :”

Tanggal / HR rerata / Zona 5
5 Aug / 143 BPM / 3%
8 Aug / 140 BPM / 0%

T : “Apa perbedaan penting yang kamu rasakan?”

J : “Wah. Hari ini saya lari dengan sangat nyaman. Hari ini yang saya rasakan setelah lari adalah rasa bugar, senang dan tidak ada rasa capek sama sekali. Tidak seperti 3 hari yang lalu. Rasanya capek sekali.”

T : “Kesimpulannya?”

J : “Abaikan pace. Nikmati lari. Jangan terpengaruh postingan lari anak muda. Tujuan utama lari saya adalah kebugaran dan kesehatan, bukan (lagi) prestasi.”

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (34) : Berlari Bukan untuk Membahayakan Jantung

Ada beberapa hal yang berperan penting pada saat lari : otot, persendian, napas dan denyut jantung.

Otot, persendian dan napas bisa dirasakan langsung oleh pelari. Sedangkan denyut jantung tidak bisa langsung dirasakan. Atau kalaupun dirasakan, terkadang bisa saja terabaikan. Karena semangat dan target yang ingin dicapai.

Namun jika menggunakan Smartwatch, pelari akan tahu apakah denyut jantungnya sudah masuk katagori berbahaya atau tidak.

Denyut jantung / Heart Rate (HR) Maksimum yang bisa membahayakan jantung saya adalah HRMax = 220 – Umur = 220 – 52 = 168 BPM (beat per minute).

Namun saya sangat membatasi denyut jantung hanya sampai 90% max HR atau 152 BPM. Selama lari, saya berusaha agar denyut jantung tidak melewati 152 BPM. Dengan begitu, maka saya tidak akan terengah-engah. Tidak ada pula deg-degan.

Apakah ketika saya berlari dengan HR di atas 152 BPM, kemudian jantung terasa berdenyut lebih kencang atau deg-degan? Selama ini saya tidak merasakannya.

Inilah justru letak bahayanya.

Untuk pelari atau goweser jarak jauh, inilah alasan penting mengapa harus menggunakan alat deteksi denyut jantung.

Mengapa?

Semakin lama berolahraga, umumnya denyut jantung per menit akan semakin tinggi. Pengalaman saya, ketika memasuki KM ke-7, maka denyut jantung akan masuk ke level tinggi. Sedikit elevasi naik atau sedikit meningkatkan kecepatan lari, maka denyut jantung akan mudah masuk ke zona merah (zona 5 : lihat gambar).

Pada artikel sebelumnya, saya pernah bercerita mengenai pelari / goweser yang meninggal karena dugaan serangan jantung. Dugaan utamanya : kelelahan dan mengabaikan denyut jantung per menit yang melebihi batasan untuk usianya.

Apakah efek pengabaian denyut jantung per menit, hanya terjadi serangan jantung, kemudian meninggal? Tidak.

Ada teman pelari yang bercerita “agak horor” efek dari pengabaian denyut jantung itu. Cerita ini telah diijinkan ybs untuk diceritakan kembali. Ini ceritanya.

+++++

Pada hari Minggu, 1 Mei 2016, saya mengikuti long run race yang diadakan di Universitas Indonesia. Tidak ada permasalahan yang berarti di race itu.

Hari Senin pagi, tanggal 2 Mei 2016, ketika sampai di kantor, saya melihat ruang Gym kosong.

“Wah kebetulan ini. Saya ingin mencoba mengetes batas kemampuan fisik saya.”

Saya kemudian menggunakan treadmill speed. Saya berlari dengan semangat tinggi, dengan pace berkisar di 4 menit per km. Saya sempat mengecek di smartwatch, denyut jantung sering melebihi heart rate maksimum. Selalu berada di zona 4 dan 5.

Selesai treadmill, permasalahan mulai muncul. Denyut jantung per menitnya tidak mau turun. Mestinya, begitu selesai berlari, denyut jantung akan berangsur turun ke 80 – 90 denyutan per menit. Tapi ditunggu sampai 2 jam, denyut jantung masih tetap berada di 120 – 140 denyutan per menit.

Efek langsung yang saya rasakan : kepala pusing dan badan menjadi dingin. Saya
langsung ke dokter, kemudian diberi obat ISDN yang di bawah lidah. Bersyukur, kemudian berangsur-angsur denyut jantung mulai normal.

Apakah kemudian masalahnya selesai? Tidak! Itu baru permulaannya.

Mulai hari itu, jantung saya menjadi error.
Setiap jam 11.00 pasti badan menggigil, kemudian lemas. Denyut jantung meningkat.

Dengan pengobatan teratur, lama-lama kumatnya sedikit demi sedikit berubah jam-nya. Beberapa hari berikutnya kumatnya mulai jam 12.00, kemudian jam 01.00 dan seterusnya. Itu berlangsung selama 2 bulan!

Jantung saya baru pulih sepenuhnya setelah 2 tahun. Saya sudah sampai bosan ke dokter jantung.

Semoga bisa jadi pelajaran untuk pelari yang umurnya sudah di atas 40 tahun. Jangan hanya ingin terlihat hebat, tapi lupa dengan umur dan batasan-batasan penting yang berbahaya.

+++++

Itu sedikit cerita “horor” teman pelari yang harus terpaksa dilalui akibat mengabaikan denyut jantung.

Nah, saya sendiri pernah hampir mengalami peristiwa di atas. Beberapa kali, saya sangat ingin mendapatkan personal best : lari jarak 10km dengan waktu kurang dari 1 jam.

Apakah bisa? Hampir!

Namun efeknya, saya harus berlari dengan mengabaikan zona aman denyut jantung.

Efek lanjutannya?

Pada beberapa hari setelahnya, ketika saya berlari lagi, baru berlari sebentar, denyut jantung sudah berada di zona merah (di atas 152 denyutan per menit). Kebugaran saya juga menurun, terlihat dari VO2Max yang semakin kecil.

Apakah hanya itu? Tidak.

Mulai bulan Maret – Juni 2020, kemampuan lari saya menurun drastis. Bahkan di bulan Mei-2020, saya hanya bisa berlari dengan pace di atas 7 menit per km. Padahal, pada bulan Feb-2020, saya sudah nyaman berlari dengan pace 6 menit per km. Selain itu, saya juga merasakan cidera di tumit dan pangkal paha.

Semuanya terjawab ketika bulan Jul-2020 ada medical check up. Kebetulan saya mendapatkan fasilitas treadmill. Ketika melihat grafik hasil treadmill, dokter bilang begini,

“Secara umum, kondisi jantung bapak bagus. Tidak ada permasalahan berarti. Hanya saja, dari grafik ini, saya melihat ketika bapak berlari di kecepatan tinggi, ada ritme jantung yang terlihat berbeda. Ada sedikit ketidakteraturan irama jantung.”

Nah! Inilah yang harus saya waspadai. Artinya, saya tidak boleh lagi berlari kencang. Saya harus melupakan (untuk minimal saat ini) belajar lari kecepatan tinggi, misal berlari interval untuk meningkatkan pace.

Jelas. Saya tidak mau cerita teman di atas terjadi juga pada saya.

Oleh karena itu, meskipun fungsi motorik (sendi / otot) dan napas tidak ada masalah kalau saya berlari lebih cepat, namun saya tahu diri : tidak boleh memaksa berlari dengan denyut jantung terlalu sering di atas 152 BPM.

Jadi, indikator Heart Rate di Smartwatch benar-benar saya pergunakan sebagai rem.

Saya berlari untuk mendapatkan kesehatan, bukan untuk membahayakan jantung.

Apalagi umur saya sudah di atas 50 tahun. Jadi, harus tahu diri dan tahu batasan diri bahwa jantung tidak boleh berdenyut melebihi batas.

Saya juga sudah tidak membutuhkan prestasi dan pujian karena kecepatan lari. Yang penting happy, bugar, rutin dan tetap gobyos keringat.

Pace? Nomor 12.

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (33) : Strategi Lari Jarak Jauh

“Ma, minta tolong belikan minuman isotonic satu krat. Besok Sabtu, saya mau lari jauh!”

“Memang mau lari kemana?” tanya istri agak menyelidiki.

“Yang jauh hanya jaraknya. Bukan lokasinya. Paling muteri Komplek Pemda Sleman. Minuman disiapkan di rumah, jadi bisa bolak-balik mampir rumah.” jawab saya.

Itulah sepenggal pembicaraan di WA, 2 hari sebelum saya lari Half Marathon (HM) hari ini. Menyediakan minum pengganti cairan tubuh, adalah salah satu persiapan lari yang saya lakukan. Karena saat lari jauh, keringat pasti akan banyak keluar.

Selain minuman, saya harus mengenakan perangkat lari paling nyaman. Paling disukai dan harus lengkap.

Rute lari juga sudah saya tentukan. Untuk menghilangkan rasa jemu, saya mengusahakan agar rute lari tidak dilalui berulangkali. Tapi sedapat mungkin melalui rumah, untuk minum minuman yang disiapkan istri.

Apa persiapan lain selanjutnya? Strategi lari. Ini penting sekali.

Sebelum memulai lari, saya sudah menetapkan strategi : Lari dengan pace paling nyaman. Bukan paling cepat. Bahkan malah lebih lambat dari biasanya. Strategi utamanya : menjaga agar heart rate (HR) tidak menyentuh zona 5. Mengapa?

Saya pernah beberapa kali lari HM. Pernah mengabaikan heart rate. Pada saat awal lari dan ketika badan masih segar, langsung tancap gas. Maunya agar cepat selesai. Tapi akibatnya justru parah. Setelah KM ke-15, mulailah terasa kaki akan kram. Memasuki KM ke-18, benar-benar muncul kram. Praktis di 3 KM terakhir HM : Hanya Mlaku. Jalan kaki.

Nah, karena pengalaman sebelumnya itu, maka saya memulai lari hari ini dengan santai. Bahkan sejak awal KM hanya lari dengan pace 07:15 / km, dengan HR rerata = 130 bpm. Zona 3.

Strategi tersebut terbukti berjalan baik. Hingga KM 21, HR tidak pernah melewati zona 5. Rata-rata 142 bpm.

Nafas dan denyut jantung masih baik. Yang tidak terlalu baik adalah rasa capek di persendian dan tumit kaki kiri. Memang, saya merasakan ada yang tidak pas dengan kaki kiri. Selain otot yang rentan cedera, saat ini ada rasa sakit di tumit kiri dan pangkal paha. Tidak terlalu mengganggu kalau hanya lari 10K, namun cukup terasa ketika HM.

Namun demikian, ada hal yang membuat saya gembira. Setelah selesai lari, hanya dengan istirahat dan tidur, rasa capek itu bisa hilang. Tidak perlu harus dengan pijat.

Dugaannya karena saya selalu lari di luar heart rate zona 5, maka produksi asam laktat hanya sedikit. Efeknya, tidak ada kram otot dan rasa capek hilang lebih mudah.

Jadi, kunci bisa menikmati lari adalah lari dengan kecepatan sendiri yang paling nyaman.

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (32) : Tips Swa Photo untuk Pelari

Beberapa kali, saya diminta untuk menyampaikan tips cara swa photo untuk memotret aktifitas lari sendiri. Beberapa kali pula saya sampaikan akan menceritakan kalau sudah ada waktu.

Memang, ada sedikit dilema ketika saya akan membuat tulisan mengenai tips itu. Masalahnya, ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. Langkah-langkah itu agak rumit, karena perlu penguasaan aplikasi yang agak kompleks dan prosesnya pun agak lama.

Namun, tadi pagi saya mendapatkan aplikasi memotret di Android dari anak saya, Dandy, yang benar-benar saya inginkan, yaitu :

  • Mudah mendapatkan gambarnya
  • Hasilnya bagus
  • Banyak gambar yang bisa dipilih
  • Cepat untuk mendapatkannya
  • Tidak akan terlalu membebani memory HP

Aplikasi ini benar-benar powerfull. Ke-5 syarat itu bisa didapatkan hanya dari 1 aplikasi saja. Padahal sebelumnya, saya harus melakukan beberapa langkah untuk mendapatkan foto yang belum tentu bagus.

Nah, aplikasi ini bernama : GonnyCam.

Keistimewaan aplikasi ini, kualitas dan dimensi foto bisa disetting berdasarkan kamera bawaan HP. User bisa memilih ratusan gambar hasil rekaman foto.

Untuk mendapatkan foto terbaik, sebelum digunakan untuk memotret :

  1. Setelah setting kualitas foto. Tap gambar jam di tengah kiri.
  2. Pilih settingan terlampir untuk mendapatkan hasil terbaik.
  3. Tap OK untuk mulai merekam. Silakan lari di depan kamera HP.
  4. Tap stop untuk berhenti merekam.
  5. Tap icon folder di kanan atas untuk melihat dan memilih foto terbaik.
  6. Tap icon gambar disket untuk menyimpan.
  7. Tap icon tempat sampah, untuk menghapus rekaman yang tidak disimpan.

Gampang kan? Silakan dicoba-coba dulu. Biar setelah lari, langsung bisa praktek.

Kalau untuk menaruh data lari ke foto, sudah bisa kan? Kalau belum bisa, pokoknya cari symbol “Share” di aplikasi Health Tracker (Garmin Connect, Strava atau Endomondo). Dicoba-coba saja.

Oh ya. Untuk meletakkan HP, saya membeli dudukan HP seperti pada gambar, sehingga posisi HP akan lebih stabil dan mudah menaruhnya. Saya membelinya secara on line dengan keyword : “stand HP holder”.

Contohnya ini https://tokopedia.link/V5cOJbuzf8

Sebelumnya : Perangkat Lari

Home : Belajar Lari

Selanjutnya : Strategi Lari Jarak Jauh

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (31) : Perangkat Lari

Pelari memerlukan beberapa perangkat penting untuk membantunya mendapatkan performa terbaik yang diinginkan ketika lari. Kalau harganya mahal atau murah, itu tergantung masing-masing pelari.

Berikut beberapa perangkat yang saya pergunakan. Saya tandai berdasarkan foto terlampir.

  1. Smartwatch.

Perangkat penting ini saya pergunakan untuk mengukur seluruh data lari. Fungsi utamanya untuk mengukur : denyut jantung (heart rate), Pace, Jarak, Waktu, GPS untuk tracking lari dan untuk selanjutnya connect ke health tracker, seperti Garmin Connect, Endomondo, Strava, dll.

Sebelumnya, saya pernah menggunakan HP dan smartwatch lain (Galaxy Watch, Ticwatch S2 dan Amazfit GTS) untuk mengukur aktivitas lari. Setelah menggunakan Garmin, praktis saya sudah tidak memerlukan HP untuk membantu mendapatkan dan mengolah data lari. Perangkat ini disamping battery-nya sangat awet, juga sangat akurat dalam hal tracking GPS, data lari dan pengukur denyut jantung.

  1. Sepatu

Sepatu sangat vital bagi pelari. Saya pernah menggunakan sepatu “bukan sepatu lari” untuk berlari. Memang itu tidak ada masalah kalau hanya dipergunakan 15 menit. Namun kalau sudah dipergunakan lebih dari 30 menit, ternyata kemudian berpengaruh besar.

Ketika menggunakan sepatu asal, ternyata bisa menyebabkan cidera. Kuku pernah menghitam dan kulit kaki menebal, kemudian terluka. Jadi kalau sudah berlari lebih dari 30 menit, maka harus menggunakan sepatu khusus untuk lari.

  1. Celana Lari

Awalnya, saya lari juga hanya menggunakan celana sehari-hari. Kemudian, saya merasakan ada yang agak mengganggu. Terkadang, ayunan tangan mengenai saku celana. Jadi sering terasa nggak nyaman.

Saya juga mengamati beberapa senior, ketika di race. Sebagian besar menggunakan celana ketat. Oleh karena itu, saya kemudian mencari jenis celana lari ketat tersebut di toko on line. Ternyata namanya : celana jogger 3/4.

Saya kemudian membeli beberapa biji. Ternyata celana itu nyaman dipergunakan. Oleh karena itu, hingga saat ini, kalau lari, saya pasti menggunakan celana itu.

  1. Baju / Kaos Jersey

Awal belajar lari, saya juga hanya menggunakan kaos yang sehari-hari saya pakai. Hingga suatu saat, saya justru lari menggunakan kaos longgar berpenutup kepala. Wah. Ternyata sangat tidak nyaman. Gerah dan gesekan dengan kulit menjadi sangat mengganggu.

Dari komunitas lari, akhirnya saya baru tahu bahwa mestinya kaos yang seharusnya dipakai lari adalah kaos berbahan kain yang mudah menyerap keringat.

Rasa nyaman itu semakin terasa, ketika menggunakan Jersey KLUB. Hanya saja masih ada kurangnya. Apa itu? Ukuran kaos.

Seiring dengan perkembangan kemampuan lari, berat badan saya juga semakin berkurang. Ukuran kaos yang pas, ternyata juga berubah.

Awalnya, ketika ada order awal Jersey KLUB, saya memesan ukuran XL. Perasaan saat itu pas-pas saja. Ketika ada perubahan warna Jersey KLUB selanjutnya, saya pesan ukuran L. Saya juga merasa nyaman saja. Terakhir, ketika ada perubahan warna Jersey KLUB lagi, saya memesan ukuran M.

Awalnya, dag dig dug. Cukupkah badan saya menggunakan ukuran M? Setelah Jersey KLUB warna kuning ini datang, ternyata pas sekali. Justru sekarang, saya merasa tidak nyaman lagi dengan ukuran L. Apalagi XL. Jadi terasa kedodoran.

  1. Tas Pinggang

Mengapa saya selalu membawa tas pinggang selama lari. Karena keringat!

Ada 2 barang penting yang pasti saya bawa ketika lari : dompet dan HP. Kedua barang tersebut, bisa saja disimpan di saku celana. Tetapi itu berisiko : basah terkena keringat. Karena ketika lari minimal 30 menit, keringat pasti mengucur dengan sangat deras. Oleh karena itu, tas pinggang itu menjadi sangat penting. Bagi saya.

  1. Topi

Saya hampir selalu memakai topi ketika lari, tapi saya pakai terbalik. Yang depan justru ditaruh di belakang. Mengapa? Karena keringat (lagi).

Gangguan keringat yang mengucur deras, bisa diminimalisir dengan menggunakan topi terbalik itu. Selama lari, keringat yang muncul di kepala sangat banyak. Rambut pasti basah kuyup oleh keringat. Nah, fungsi topi (terbalik) itu untuk mengarahkan aliran keringat agar menetes ke punggung, bukan ke wajah.

  1. Handuk Melingkar di Pergelangan Tangan

Saya menggunakan barang itu juga karena alasan keringat (lagi). Saya menyeka keringat di pelipis yang akan menetes ke mata menggunakan “handuk” itu. Saya membelinya secara on line.

+++++

Nah itulah beberapa barang yang saya pergunakan selama lari. Anda tidak harus seperti saya. Mana yang saat ini sudah nyaman, silakan diteruskan. Ini hanya sekedar berbagi informasi saja.

Semoga bermanfaat dan tidak penasaran lagi.

Sebelumnya : Perangkat Lari

Home : Belajar Lari

Kategori:Pengalaman

Belajar Lari (30) : Lari Sebagai Obat

Saya pernah punya teman kantor yang tiba-tiba berperilaku aneh : takut dan khawatir berlebihan tanpa sebab yang jelas. Bahkan tidak masuk akal. Sampai pada tahap ketakutan seperti karena halusinasi sendiri. Tiba-tiba saja, kalau akan keluar kantor, misal Shalat Jum’at di masjid besar, harus menghubungi saya. Dia merasa aman, kalau berdekatan dengan saya. Pokoknya harus dengan saya. Padahal, saya dan dia beda gedung.

Usut-punya usut, dugaan terbesar perilaku aneh tersebut disebabkan oleh asam lambung. Asam lambung bisa menjadi salah satu pemicu penyebab gangguan halusinasi tersebut. Bagaimana bisa?

Ketika orang terkena maag dan asam lambung naik sampai tenggorokan, sehingga mengenai syaraf pengendali kecemasan (nervous fagus), maka mulailah orang tersebut bisa terkena halusinasi. Cemas berlebihan tanpa sebab, bisa melihat hantu, mendengar bisikan, dsb.

Pengalaman “ketakutan berlebihan tanpa sebab yang jelas” tersebut, juga pernah terjadi pada adik kelas kuliah saya. Hebatnya, bisa diatasi dengan lari. Tidak percaya?

Saya copy paste pengalaman teman saya Deva Agustiawan mengatasi GERD (gastroesophageal reflux disease) melalui Lari, dengan sedikit penyesuaian redaksi, tanpa mengurangi isi. Ini ceritanya.

+++++

Saya memulai berlari sejak 3 tahun lalu. Awalnya bermula dari nasihat dokter agar saya membiasakan diri berolahraga rutin minimal 30 menit sehari.

Sebelumnya memang saya mengidap GERD yang disertai dengan rasa cemas. Ketika kambuh, dada saya rasanya panas (heartburn), jantung berdegup kencang, dan kesulitan bernafas. Hal itu kemudian memicu raca cemas yang sangat. Tak jarang di tengah malam, saya membangunkan istri untuk diantarkan ke UGD ketika GERD saya kambuh.

Kata dokter, olah raga bisa membantu memperbaiki metabolisme dan meningkatkan kepercayaan diri saya,

“That I’m doing fine,”

Berharap olah raga lari bisa mengurangi rasa cemas ketika asam lambung saya kambuh.

Sejak itu saya mulai berlari. Mengikuti training plan yang ada di aplikasi Samsung Health. Dari program Baby Step to 5K hingga akhirnya bisa berlari 10K. Kebetulan programnya ada di aplikasi tersebut.

Selain harus perlahan membangun endurance, tantangan terberat berlari adalah melawan rasa bosan. Seorang teman menasihati saya agar motivasi berlari tetap terjaga; dengan cara membuat target berlari, men-set up training plan, mengikuti race event, bergabung dengan komunitas lari, hingga membeli jersey dan sepatu baru.

Saran-saran tersebut saya ikuti. Dan Alhamdulillah hingga sekarang, tiga tahun berlalu, saya masih tetap rutin berlari dan tidak pernah lagi membangunkan istri di tengah malam untuk minta diantar ke UGD karena GERD.

Asam lambung saya sudah sangat jarang kambuh. Jikapun kambuh, rasa cemas yang dulunya menyertai, bisa saya manage dengan baik.

Home : Belajar Lari

Selanjutnya : Perangkat Lari

Kategori:Pengalaman